Lalat dalam Gelas Kopi

Zoya Herawati 

“Tak ada waktu yang tepat kapan hidup harus dimulai. Jika ada yang mengatakan awal hidup ada pada usia 40-an, itu merupakan kebohongan besar. Hidup bisa dimulai kapan saja kita mau, karena ia bak segelas kopi. Mau ditambah jahe, hingga wangi rimpangnya, wow, bikin hidung menari-nari atau wiped cream yang tekstur lembut krimnya tertinggal di langit-langit mulut, atau bahkan tanpa gula sekalipun, sepenuhnya tergantung kita. Atau hidup adalah gradasi warna, pelan merambat dari terang ke gelap dan sebaliknya. Mau terus atau surut sekali lagi semua tergantung seberapa besar kanvas keinginan tersedia.”

Ada topeng pada wajah Amak, kaku, beku, darah berhenti tepat di ubun-ubun. Kata-katanya menguap atau lebih tepat menabrak langit-langit yang dipenuhi sarang laba-laba. Beberapa lukisan setengah jadi pada dinding menyatu dalam warna kelabu, menyiratkan kegagalan demi kegagalan pada jalan panjang yang membelah sampai pada usianya yang sudah lebih dari tujuh puluh.

Aku terkekeh: “Seberapa pintar kau menyimpan kelelahan tetapi daki dan keringat yang berlelehan di sela-sela selangkangan telah menghambat gerak motorik kedua kakimu, menjadikan langkahmu terseret-seret disertai nafas tersengal-sengal…”

Amak tak bereaksi, tetap kaku, beku, dengan darah mulai mengental di ubun-ubun. Sunyi. Seekor lalat terbang berputar-putar di atas gelas berisi separuh kopi, sebentar menempel pada ujung sedotan berwarna merah di gelas sebelahnya, dan sempat mengaduk isi perut oleh warna-warna kontras, warna-warna dalam kepalaku. Menahan rasa mual kuikuti ke mana ia pergi. Dengan nakal kini ia membuat lubang pada sepotong roti dan lalu masuk lebih ke dalam. Dengungnya menyerupai gergaji pada hutan-hutan yang mulai gundul, menciptakan gempa yang saling memantul. Aneh, tidak ada remah yang tumpah meski lubang dalam roti membesar. Rupanya makhluk itu telah memindahkan remah-remah roti ke dalam perutnya yang kecil tanpa kesulitan. Sungguh sebuah gerak manipulatif yang amat sempurna.

Amak terlelap. Kanvas ditinggal kosong. Di atas lantai beberapa kuas dalam berbagai ukuran tergeletak kaku dekat campuran cat dalam berbagai warna yang kelihatannya mulai mengering. Aku tersenyum, memulai hidup dengan tidak melakukan apa-apa memang bisa dilakukan kapan saja. Kupandangi tubuh Amak yang meringkuk berbalut sarung dengan kaus oblong. Dengkur halus mulai mengalir memenuhi ruangan, mengantar Amak menjemput mimpi-mimpi yang telah dirajutnya saat masih terjaga.

“Ya Tuhan! Mengapa kau ciptakan makhluk yang tidak berguna, cuma mengumbar dengkur saja!” Di ruang tengah istri Amak menggerutu. Amak tak bereaksi, ia benar-benar terlelap. “Aku salut oleh caramu mamandang hidup. Memerlukan keberanian luar biasa membiayai istri dan tiga orang anak hanya dengan mencampur warna-warna pada kanvas,” kataku suatu kali. Ketika itu seperti biasa kami menghabiskan waktu di sanggarnya, sebuah ruangan sederhana di belakang rumah, dindingnya dari anyaman bambu dengan luas tidak lebih dari sembilan meter persegi. Di salah satu sudutnya, beberapa lukisan ditumpuk begitu saja. Kala itu Amak menjawab, “Terserah.” Jika itu disebut keberanian, tentu sebuah keberanian konyol. Sebab jika saja engkau sempat melihat, di baliknya menumpuk ketakutan-ketakutan yang aku tidak tahu bagaimana mengatasinya. Dan jika engkau pun bertanya mengapa tak berupaya, maka aku dengan malas akan menjawab, terlalu rumit dan bertele-tele. Aku hanya menggigit-gigit bibir saja, misteri di balik jawaban berkelit-kelit membawaku ke pemahaman lain tentang makna hidup menurut Amak.

Makin sunyi lalat itu kini hinggap di bibir gelas, tubuhnya membengkak, warna hijau pada punggungnya tampak makin berkilat. Remah-remah roti membuatnya sedikit gemuk. Ia diam untuk beberapa lama. Aku berharap lalat itu juga terlelap seperti Amak, hingga aku bisa menyaksikan tubuhnya limbung ke dalam gelas yang dasarnya dipenuhi ampas kopi. Tentu akan menciptakan warna yang amat indah meski bagi makhluk kecil tersebut hal itu merupakan tragedi. Satu, dua, tiga menit yang kuharapkan tidak terjadi. Lalat itu tetap kokoh di bibir gelas, tubuhnya seolah berperekat hingga timbul keinginanku untuk membetotnya dan lalu menyemplungkannya ke dalam gelas hingga gelagapan dalam ampas kopi. Tapi semua tak kulakukan. Aku membiarkannya merajut mimpi-mimpi andai punya.

Kelebat bayangan istri Amak memenuhi ruang pandangku. Sekarang ia merentang tali untuk menjemur cucian di halaman samping. Aku kagum padanya, seorang perempuan pemberani yang mempertaruhkan hidupnya pada sepotong puisi. Kukatakan demikian karena peristiwa itu tetap lekat di ingatan, bagaimana ia mengangguk terharu ketika Amak melamarnya hanya dengan potongan-potongan syair yang ditulis di atas kertas yang dipungut begitu saja dari meja redaksi majalah kampus. Entah sihir apa yang ada di balik kalimat-kalimat gombal, yang jelas ia tampak gagah melangkah di samping Amak yang terus-menerus memasang senyum kadalnya. Puluhan tahun berlalu aku masih saja menyaksikan keberaniannya meski sedikit berubah menjadi agak beringas.

“Zen, bawa adikmu makan siang, tak usah sekolah dulu. Bapakmu belum lagi menggambar, jadi tak ada uang bayar iuran!”

Zen, anak sulung Amak mengangguk lalu keluar berteriak-teriak memanggil adik-adiknya. Suaranya cukup keras hingga mampu merobek gendang telinga. Tapi Amak tidak juga terbangun, ia sangat menikmati tidurnya. Barangkali ia tengah melepas beban. Tapi apa benar ia punya beban? Bukankah ia tak pernah meributkan beban dengan hanya berdiri di tempat tanpa pernah mencoba sedikit bergeser dari tempatnya? Mungkin orang lain yang justru sering meributkan keadaannya. Atau jangan-jangan ia sudah terbangun dan sengaja bersembunyi di balik kedua matanya yang tertutup rapat. Ia sedang mencoba menghindari istrinya, anak-anaknya, aku, sahabatnya, dan yang paling penting menghindari dirinya. Seperti tadi, nafasnya tetap teratur namun dengkurnya sudah menghilang.

“Kalau mau makan, silakan. Tapi hanya ada sambal teri,” istri Amak menjenguk ke dalam sanggar. “Terima kasih, saya lebih senang menikmati keadaan di sini,” aku menahan diri meski lapar mulai menganggu.

Hidup dengan sambal teri sehari-hari, barangkali itulah makna puisi bagi Amak. Ia sengaja memenggal tepat pada bagian yang paling memilukan lantaran ia tak pernah berupaya untuk menyambungnya dengan yang lebih baik.

“Kau adalah laki-laki paling biadab di seluruh jagad!” umpatku suatu ketika. Ia hanya tersenyum. Kala itu ia berhasil memacari anak gadis bupati yang masih belasan dan membujuknya untuk bersedia mendampingi penyair kacangan seperti dirinya. Dengan rambut sepinggang ala anggota grup musik cadas Santana, ia memang berhasil menarik perhatian remaja putri.

“Catat baik-baik, ini bukan tipu muslihat, ini trik, strategi, siapa pun sah-sah saja melakukannya,” katanya menjawab umpatanku seraya terkekeh-kekeh.

“Zen, bangunkan bapakmu! Suruh ia makan sebelum semua habis oleh kedua adikmu!” Istri Amak kembali berteriak-teriak. Tapi Zen tak kunjung membangunkan Amak. Dibiarkannya lelaki tua itu tetap terlelap. Rambut ala Santana itu kini seluruhnya memutih dan banyak yang rontok hingga kepalanya agak botak. Aku mengintip keluar, perempuan pemberani itu kini sibuk mencabuti batang-batang lengkuas di kebun belakang. Dengan parang di tangan tangkas ia mencongkel-congkel rimpang lengkuas, lalu mengumpulkannya di atas tampah besar. Dulu, dengan suara meso-sopran, ia merajai panggung-panggung teater di kotanya. Kini tanpa suara ia telah mengubur habis kenangan remajanya.

“Zen, jika sudah selesai makan antarkan lengkuas ini ke warung ujung desa, suruh timbang ada berapa kilo, dan minta sekalian uangnya,” ia kembali memanggil anaknya. Baginya, dialog tersebut mirip naskah panjang yang tak ia ketahui kapan harus berakhir.

Kembali sunyi. Amak mengubah posisi tidurnya. Kini ia membelakangiku. Sarungnya melorot sampai ke lutut sementara punggungnya basah oleh keringat. Lenguh kerbau bersahut-sahutan pertanda petani beranjak pulang dari sawah. Satu dua seretele (sejenis belalang yang hanya keluar pada malam hari) yang mendenging-denging di pucuk-pucuk pepohonan telah menyeret matahari mendekati peraduannya. Ketika kecil, saat seretete mulai berbunyi, ayah selalu memanggil-manggil menyuruhku mandi di pancuran sebelum gelap benar-benar turun. Ketika ayah berpulang, seretete pergi bersama ruh beliau, entah ke mana. Bahkan, biyung pun juga kehilangan ruhnya. Sepanjang hari ia hanya duduk diam di beranda depan. Jika orang bertanya mengapa ia di sana, maka ia akan menjawab, “Aku menunggu bapak anakku pulang.” Biyung ternyata melangkah surut dan menyerah total pada suratan. Sebuah hal yang kelak terus-menerus mendera ingatanku. Jasadnya dikerubuti ribuan lalat selama berhari-hari tanpa seorang pun tahu. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, lalat-lalat itu tak mau pergi dari rumah. Mereka hinggap di mana-mana, di kursi, di meja, di ruang tamu, di ruang tengah, di dapur, di kamar tidur, bahkan di kelopak mataku. Dengungnya yang gaduh telah merontokkan isi dadaku.

Seretete bersahut-sahutan. Secara refleks, Amak mengusap liur yang meleleh membasahi wajahnya. Tiba-tiba lalat di bibir gelas bergerak-gerak. Tubuhnya yang tambun berputar pelan-pelan sementara dengungnya mulai menggilas suara seretete. Kini ia hinggap pada tubuh Amak. Dengan pandang berbinar, aku ingin melihat lalat itu memasuki tubuh Amak. Bukan lewat mulut, kuping, atau hidung, sebab itu terlalu mudah. Aku ingin lalat itu membuat lubang pada tubuh Amak sama seperti ketika ia melubangi sepotong roti, lalu menggerogotinya pelan-pelan dan menyimpan potongan daging ke dalam perutnya yang kecil. Tubuh Amak mengejang, mulutnya menganga lebar namun tak ada suara yang keluar. Pelan-pelan bagian demi bagian tubuh Amak membiru dan dari setiap lubang yang dibuat oleh lalat itu meleleh cairan merah kekuningan mengotori lantai, tumpukan kanvas, onggokan kuas, palet-palet, dan pada akhirnya seluruh ruangan tempat kami sering menghabiskan waktu bersama.

Tergesa-gesa perempuan pemberani itu memasuki ruangan sambil membawa pemukul kayu berukuran besar. Kini dengan muka dingin namun sekuat tenaga, ia menggebuk lalat itu beserta potongan daging yang tercecer, memungutinya, dan lalu membuangnya ke dalam bak sampah. ***
Manyar, 21
Akhir Maret ’06 

Jawa Pos,  Edisi 06/18/2006 

Leave a comment