Mengenang Riyono Pratikto (1932-2005) Nasib Seorang Cerpenis

Oleh AJIP ROSIDI 

RIYONO Pratikto dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengah, 27 Agustus 1932. Mulai menulis cerita pendek ketika duduk di SMP Tegal (1949) dan bukunya yang pertama “Api dan Beberapa Cerita Pendek Lain” terbit ketika ia masih duduk di bangku SMA di Semarang (1951). Tapi sejak masuk ITB menjadi mahasiswa jurusan bangunan (tidak tamat) dan menyelesaikan sarjananya di Fakultas Publisistik, Universitas Padjadjaran (1988), ia terus tinggal di Bandung sampai meninggal pada tanggal 30 Oktober 2005.

Pada awal tahun 1950-an, dia dikenal sebagai penulis cerita (pendek dan panjang) yang produktif sekali. Tapi yang terbit sebagai buku selain “Api”, hanya “Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek Lain” (1958), di samping terjemahan dari pengarang Soviet Rusia Boris Lavrenyov “Yang Keempatpuluh Satunya” (1958). Pernah memperoleh hadiah majalah Kisah untuk cerita pendeknya “Melalui Biola” (1954).

Riyono seorang pendiam yang santun dan kalau berbicara sangat lirih, dan kalau tertawa juga tak pernah cekakakan. Biasanya hanya tersenyum. Dia seorang yang sangat cermat, selalu mencatat pengeluarannya sehari-hari. Lebih suka menyendiri. Setahu saya Riyono tidak pernah aktif dalam organisasi mahasiwa ataupun lainnya.

Saya tidak ingat bagaimana saya mula berkenalan dengan Riyono. Tapi mestinya melalui Soekanto S.A. yang pernah bersama-sama sekelas di SMP Tegal dengan Riyono. Pada waku itu (tahun 1953-1955), Soekanto, Riyono, S.M. Ardan, Achmad M.S., Misbach J. Biran, Syuman Djaya, kemudian juga Trisnoyuwono dan beberapa orang lagi pengarang muda yang buah tangannya sering dimuat dalam majalah-majalah terkemuka pada masa itu, seperti Kisah, Mimbar Indonesia, Siasat, Indonesia, Pudjangga Baru, dan Zenith, sering berkumpul di rumah Ardan di Jalan Ajudan (Kramat Kwitang II). Yang lain umumnya menulis cerita pendek atau sajak, atau cerita pendek dan sajak, tetapi Ardan (dan Nugroho) sering menulis kritik dan esai. Kemudian tempat bertemu itu pindah ke Jalan Kramatbunder, karena di situ sering berkumpul para seniman dari berbagai bidang. Jalan Kramatbunder tak begitu jauh dari rumahnya Ardan dan karena masih berada dalam lingkungan Pasar Senin, maka para seniman yang sering berkumpul di situ, kemudian dikenal sebagai Seniman Senin. Tapi seingat saya Riyono jarang datang ke Jalan Kramatbunder.

Riyono tinggal di Bandung. Tapi ada pamannya yang tinggal di Jalan Kendal, sehingga ia sering berkunjung ke Jakarta. Ayahnya sendiri meninggal pada masa revolusi. Adiknya, Riyardi Pramudya yang kuliah di UI, saya ingat tinggal bersama pamannya itu.

Kalau Riyono “turun” dari Bandung, kami biasanya berkeliling bersama-sama naik sepeda menemui teman-teman. Saya ketika itu tinggal di kandang sepeda SMP Negeri VIII di Jalan Pegangsan Barat, sehingga tak begitu jauh dari rumah pamannya Riyono. Soekanto S.A. tinggal jauh di Bendungan Jago, sebelah timur lapangan terbang Kemayoran, tetapi kami sering mengunjunginya dengan sepeda. Soekanto kalau siang bekerja di kantor Pos Pasar Baru, Jakarta bagian penyortiran surat-surat. Karena itu dia selalu tahu kalau Riyono (atau yang lain) mengirimkan karangan kepada H.B. Jassin, atau kalau karangannya dikembalikan.

Rute yang biasa kalau Riyono ada di Jakarta ialah pertama-tama ke kantor majalah Kisah yang ketika itu masih di Jalan Paseban (biasanya kalau ada honorarium yang akan diambil), lalu ke rumah Ardan, kemudian Balai Pustaka menemui para pengarang senior yang bekerja di sana seperti Achdiat K. Mihardja, Anas Ma’ruf, Utuy T. Sontani, M. Taslim Ali, Rusman Sutiasumarga, dan lain-lain atau ke tempat lain. Berkunjung ke rumah H.B. Jassin di Jalan Siwalan biasanya sore hari atau malam hari sehabis Magrib.

Boleh dikatakan pada masa itu, Riyono adalah bintangnya di antara para pengarang muda. Ceritanya yang penuh dengan keajaiban dan hal-hal gaib sangat menarik perhatian. Dan ia sangat produktif sekali. H.B. Jassin memujinya dalam “Sorotan” majalah Kisah yang dianggap sebagai ruangan tempat belajar mengarang bagi para pemula.

Kalau kita membaca “Api dan Cerita-cerita Pendek Lain” yang dimuat dalam buku Riyono yang pertama, dengan mudah kita bisa mengatakan bahwa di dalamnya pekat sekali pengaruh gaya bahasa Idrus dalam “Corat-coret di Bawah Tanah”-nya. Tetapi kalau kita membaca karangan-karangan Riyono yang lebih kemudian, pengaruh Idrus itu boleh dikatakan tidak lagi kelihatan. Riyono telah menemukan gayanya sendiri. Riyono sangat mementingkan plot, terkadang kurang cermat dalam penyusunan bahasa, namun ceritanya memikat pembacanya sampai selesai.

Hal itu tampak kalau kita membaca cerita-cerita pendeknya yang dimuat dalam “Si Rangka dan Cerita-cerita Pendek Lain” dan yang masih bertebaran dalam majalah-majalah seperti “Dua Orang Sepanjang Bukit” (Siasat), “Goa” (Indonesia), dan dongeng-dongeng modernnya (Kisah, majalah Kompas, dan lain-lain). Sayang bahwa banyak karya Riyono yang masih belum dibukukan. Kesempatan untuk menerbitkan buku pada masa itu memang sangat sedikit.

Pada tahun 1957, Riyono bersama-sama dengan Rendra, Sugiarta Sriwibawa, dan para pemuda yang lain mendapat undangan untuk menghadiri Festival Pemuda Internasional di Moskwa. Undangan demikian biasanya disampaikan kepada orang dan para pemuda yang aktif dalam kegiatan kaum kiri, dan kepada mereka yang diharapkan akan dapat ditarik ke kiri. Ada yang kemudian memang menjadi kiri, seperti Hendra Gunawan (1951 di Budapest) dan Sudjojono (1952 di Berlin), Idi Abdurrachman (1953 di Warsawa). Tapi tidak semua orang yang dijadikan “target” kaum kiri itu kemudian menjadi kiri. Rendra dan Mang Koko (yang juga diundang untuk menghadiri Festival Pemuda Internasional di Moskwa tahun 1957) misalnya tidak pernah menjadi kiri.

Tentang Riyono saya sendiri tidak tahu persis, karena sejak saya menikah (1955) hubungan dengan kawan-kawan itu menjadi kian renggang. Riyono sendiri seingat saya menjadi kian jarang ke Jakarta. Tapi sebagai orang yang saya tahu tidak pernah tertarik aktif dalam organisasi, Riyono tidak akan aktif dalam Lekra atau lainnya. Karangan-karangannya memang nampak muncul dalam majalah atau penerbitan-penerbitan kiri, tetapi pada waktu itu banyak juga pengarang lain yang sudah mempunyai nama yang memuatkan karyanya dalam majalah atau penerbitan-penerbitan kiri. Tidak mustahil hanya karena kesempatan untuk memuatkan karangan sastra memang kian sempit dengan kian berkurangnya majalah kebudayaan. Mungkin juga karena dia diminta oleh redaktur majalah atau penerbitan itu agar menyumbangkan karangannya dan dia tidak menolak kesempatan demikian. Orang-orang kiri memang aktif mengajak para seniman dan sastrawan yang sudah punya nama untuk memuatkan karangan dalam publikasi mereka atau menyertai kegiatan yang mereka adakan. Nama Riyono pernah tercantum sebagai pengasuh ruang kebudayaan surat kabar Warta Bandung yang merupakan surat kabar kiri, namun mungkin hanya namanya saja dipakai –seperti telah menjadi kebiasaan di kalangan orang kiri. Dengan sifatnya yang santun, mungkin Riyono tidak bisa menolak ajakan redaktur Warta Bandung yang hendak mencantumkan namanya. Yang jelas nama Riyono sepanjang tahu saya tidak pernah tercantum sebagai pengurus Lekra baik di tingkat Jawa Barat maupun –apa lagi– di tingkat nasional.

Mungkin karena itu pula maka ketika terjadi Gestapu (1965) dan semua orang yang disangka aktif dalam organisasi kiri diperiksa atau ditahan oleh Penguasa Perang. Setelah diperiksa, Riyono dibebaskan. Dia mendapat clearence dari Penguasa Perang (Pepelrada) pada waktu itu (1966) bahwa ia tidak terlibat dengan Gestapu. Karena itu ia bisa melanjutkan kuliah di Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran sampai tamat dan kemudian menjadi dosen di almamaternya itu.

Karena itu sangatlah mengagetkan ketika menjelang akhir tahun 1980-an, dimuat berita yang menyatakan bahwa Menteri P dan K Prof. Dr. Fuad Hassan memecat Riyono Pratikto tanpa pensiun dari kedudukannya sebagai dosen Fakultas Publisistik Unpad karena ditemukan bukti bahwa ia terlibat dengan Gestapu. Pemecatan itu dilakukan tanpa memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk memberi keterangan atau membela diri sama sekali.

Waktu kejadian itu diberitakan dalam majalah Tempo dan disebut bahwa alasannya ialah kalimat dalam buku saya “Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia” (1969) yang menyebut Riyono bersama-sama dengan nama pengarang lain yang sebelumnya sudah terkenal kemudian menulis dalam publikasi pihak kiri (padahal dalam cetakan kemudian nama Riyono dihilangkan dari sana), saya menulis surat terbuka menerangkan bahwa tidaklah rasional bahwa Riyono yang sudah mendapat surat clearence dari Penguasa Perang (Pepelrada) yang berwewenang tidak lama setelah peristiwa terjadi, kemudian dijatuhi hukuman dengan tuduhan bahwa ia terlibat karena sebuah kalimat dalam buku yang secara hukum tidak bisa dijadikan bukti mengenai kebenarannya. Tetapi tidak ada pengaruhnya. Menteri P dan K, Fuad Hassan, pakar psikologi, ahli filsafat, yang katanya mempunyai minat besar kepada sastra dan kesenian serta bersahabat dengan para seniman itu, ternyata dengan mudah menandatangani surat keputusan pemecatan Riyono tanpa merasa perlu mencari latar belakang yang sesungguhnya sama sekali. Konon Riyono diadukan kepada Kodam Siliwangi dengan tuduhan yang mematikan itu oleh kawannya sesama dosen yang terpilih sebagai pembantu dekan fakultasnya menggantikan Riyono. Riyono sendiri selama ini tidak pernah terlibat peristiwa yang berbau makar, tidak pula melakukan sesuatu di luar tugasnya sebagai dosen. Dan tampaknya Riyono memang melaksanakan tugasnya sebagai dosen dengan sepenuh hati, sehingga kegemarannya menulis cerita pendek yang dahulu sangat produktif, tidak lagi sempat dilakukannya. Bukunya yang pernah diterbitkan (ada yang diterbitkan juga di Malaysia) adalah tentang ilmu publisistik.

Karena dipecat dengan tidak hormat, Riyono kehilangan haknya untuk pensiun. Mendadak kehilangan mata pencarian sebagai dosen Unpad, sebagai orang yang dipecat dengan tuduhan terlibat Gestapu atau menjadi anggota ormas terlarang pada masa Orde Baru, dia juga tidak bisa mencari pekerjaan yang lain. Semua pintu tertutup. Bahkan sekolah tinggi dan universitas yang sebelumnya memintanya mengajar di samping di Unpad juga tidak lagi mengundangnya mengajar. Dituduh terlibat Gestapu pada masa Orde Baru memang merupakan hukuman mati secara perlahan. Tetapi musibah itu tampaknya diterima Riyono sekeluarga dengan tawakal.

Beberapa tahun yang lalu, Riyono mendapat serangan stroke, sehingga selama berbulan-bulan ia hanya bisa terbaring. Berbicara pun ia tidak bisa. Ketika kesehatannya kelihatan seakan-akan hendak pulih, mendadak Alah SWT memanggilnya. Inna lillahi wainna ilaihi roji’un. Mudah-mudahan di hadirat Allah Riyono mendapatkan keadilan yang tidak diperolehnya di dunia.***

Penulis, sastrawan

3 responses to this post.

  1. Berikut ini tulisan anak dari Bapak Riyono tersebut:
    http://riyogarta.com/2008/02/02/suharto-dan-saya/

    Reply

  2. Posted by Nonie on February 5, 2008 at 10:19 am

    Alm.Riyono Pratikto adl ayahanda dari seorang teman saya dikampus. secara personal saya belum mengenalnya secara langsung, akan tetapi dari sejumlah artikel dan kekaguman yang ditunjukkan oleh teman saya selaku anaknya sangat meyakinkan saya kalau Alm adalah orang yang sangat santun dan bersaharja. turut prihatin akan kejadian dahulu yang menimpa beliau, dan dari informasi yang saya dengar beliau menerima cobaan itu dengan tabah dan tawakal. Semoga arwah beliau diberikan tempat selayaknya oleh Tuhan YME. Amin

    Reply

  3. […] (kumpulan cerpen horornya, “Si Rangka”, tulisan menarikn tentangnya bisa dibaca di sini). Tapi di antara semuanya, Abdullah Harahap bisa dibilang yang paling […]

    Reply

Leave a comment